Namanya Bu Dwi Estiningih. Saya nggak kenal dengan beliau dan beliau nggak kenal saya. Tapi karena postingnya yang berjudul Kebohongan Publik dalam Sistem Pendidikan: Larangan Calistung di TK sudah menyebar ke seluruh dunia (yep, beliau di Yogyakarta, saya di Colchester), dan secara saya punya anak TK dan anak PAUD, ya akhirnya ikutan baca, deh…
Lengkapnya postingan beliau itu bisa diklik di sini.
Saya menggarisbawahi pernyataan beliau yang ini, “Saya banyak sharing dengan teman2 yg hidup di luar negeri dan anak2 mereka sekolah di sana sejak usia dini. TK disana, tujuan pembelajarannya #psikologis, frameworknya: mendidik jd confident learner, punya wellbeing yg bagus, berkomunikasi dg baik. Proses pembelajaran dan latihan terkait dengan latihan motorik kasar dan halus, pre reading, pre writing. Latihan tdk terlepas dari pekerjaan membaca & menulis, meskipun tdk ada tuntutan utk lancar membaca & menulis. Tdk ada output akademik.
Tahukah anda usia berapa anak di kindergarten / TK ~> usia 3 – 4 tahun!!! Bukan usia 5/4 – 6/7 seperti di Indonesia! BEDA umur!! Adopsi yg parsial, TK disana beda dengan disini!
Kemudian umur anak masuk SD disana adalah 5 tahun! Bukan 6 atau 7 tahun seperti di Indonesia! BEDA!!
Anak sd yang berusia 5 tahun tadi diajari CALISTUNG, dan masuk kelas 0 (NOL). Mereka sudah SD lho, sama seperti kakak2 kelasnya. Umur 6 tahun, mereka naik kelas 1 SD dengan kondisi sudah mahir calistung dan siap menerima pelajaran / informasi yg lbh kompleks.
***
Pernyataan Bu Dwi Estiningsih membuat saya membuka kembali lembar-lembar pekerjaan sekolah dan homework Fahdiy dan Dinara. Pendidikan wajib di United Kingdom (UK) dibagi sebagai berikut:
Usia 3-4 tahun : Nursery
Usia 4-5 tahun : Reception
Usia 5-7 tahun : Infant School Year 1 & Year 2
Usia 7-11 tahun : Junior School Year 3, 4, 5, dan 6
(Di beberapa sekolah, Infant dan Junior dijadikan satu disebut Primary School)
Usia 11-16 tahun : Secondary School
Usia 16-18 tahun : Sixth Form atau College
Usia 4-5 tahun : Reception
Usia 5-7 tahun : Infant School Year 1 & Year 2
Usia 7-11 tahun : Junior School Year 3, 4, 5, dan 6
(Di beberapa sekolah, Infant dan Junior dijadikan satu disebut Primary School)
Usia 11-16 tahun : Secondary School
Usia 16-18 tahun : Sixth Form atau College
Fahdiy (akan 7 tahun) duduk di Year 2 Infant School, sementara Dinara yang bulan lalu umur 5 tahun, sekarang di kelas Reception. September nanti Fahdiy masuk Year 3 dan Dinara Year 1.
Secara umum, anak-anak di kelas Reception sudah bisa membaca, dan menulis sederhana. Untuk usia 4-5 tahun, targetnya sudah bukan lagi sekadar bisa membaca, tetapi bisa mencongak, alias bisa menulis apa yang didiktekan gurunya. MIsalnya pekerjaan Dinara di sekolah berikut ini:
Dinara menulis: The boat can float on the lake
Gurunya memberikan penjelasan seperti ini:
Gurunya memberikan penjelasan seperti ini:
In letters & sounds we have been revisiting some of the digraphs we have learnt. We have been ‘quick writing’ words & then applying some into a sentence.
Dinara adapted the basic sentence to make it more interesting!
She started with the basic sentence ‘the boat can float’ to ‘The boat can float on the lake.’
We are working on writing accurately on the lined paper- especially thinking of descenders (letters that go below the line: ypfqgj)
Dinara adapted the basic sentence to make it more interesting!
She started with the basic sentence ‘the boat can float’ to ‘The boat can float on the lake.’
We are working on writing accurately on the lined paper- especially thinking of descenders (letters that go below the line: ypfqgj)
Well done Dinara!
Jangan tanya kepada saya apa maksudnya. Kira-kira sih Dinara dan temen2nya sedang belajar penulisan dan pengucapan ‘oa’ seperti di boat, float, gitu. Mungkin, lho, ya…
Tentu saja Dinara banyak salahnya. Misalnya tulisan berikut ini
Dinara menulis, “My best fren in the hoal werld is Alana bicose she can smile”.
Gurunya nulis komentar, “Dinara continued the sentence ‘my best friend in the whole world is’ on her own. Target tugas ini adalah menggunakan capital letter dan fullstop independently.
Gurunya nulis komentar, “Dinara continued the sentence ‘my best friend in the whole world is’ on her own. Target tugas ini adalah menggunakan capital letter dan fullstop independently.
Bagaimana dengan Fahdiy?
Ini salah satu PR Fahdiy, mengarang. Ya, mengarang, untuk kelas Year 2 (usia 6-7 tahun).
Bagi saya dan suami, belum umur 7 bisa mengarang, itu sudah canggih. Faktanya, Fahdiy ketinggalan dalam hal writing. Dalam PR di atas, misalnya. Ia keliru memahami perintah. Ia juga belum bisa menempatkan huruf besar dan kecil, serta menggunakan titik dan koma dengan benar. Padahal itu semua target untuk Year 1 (umur 5-6 tahun).
Bagaimana dengan matematika?
Tugas di sekolah dan PR Dinara sudah melibatkan penjumlahan. Dibuat misalnya seperti gambar di bawah ini. Siswa diminta menggambar titik dengan jumlah yang sama dengan titik di sayap kiri kepik. Di bagian bawahnya sudah ada kotak _+_=_ yang harus diisi angka oleh siswa. Tujuannya mengajarkan penggandaan, alias doubling.
Fahdiy dan Dinara selalu punya homework (PR) yang diberikan hanya di hari Jumat. PR English Dinara (kelas Reception) biasanya diminta menulis kalimat singkat, misalnya tentang kegiatan rutin keluarga di akhir pekan. Untuk Fahdiy (Year 2) ya sudah sampai tahap mengarang seperti gambar di atas.
PR Matematika Dinara terakhir sampai penjumlahan, misalnya:
9+5=
10+9=
2+10=
9+5=
10+9=
2+10=
Matematika Fahdiy mengenal perkalian semacam:
3 x 2 =
20 = _ X 2
3 x 2 =
20 = _ X 2
Secara umum United Kingdom masih menempatkan diri pada 10 negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Menurut hasil test Pisa dari the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2012, negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia yang masuk 10 besar adalah:
1. Finland
2. South Korea
3. Hong Kong
4. Japan
5. Singapore
6. UK
7. Netherlands
8. New Zealand
9. Switzerland
10. Canada
2. South Korea
3. Hong Kong
4. Japan
5. Singapore
6. UK
7. Netherlands
8. New Zealand
9. Switzerland
10. Canada
Di tahun 2014, hasil ini bergeser. Finlandia tidak lagi menempati peringkat pertama. Asia merajai 4 posisi teratas dengan 10 besar:
- 1. South Korea
- 2. Japan
- 3. Singapore
- 4. Hong Kong
- 5. Finland
- 6. UK
- 7. Canada
- 8. Netherlands
- 9. Ireland
- 10. Poland
Di Barat, saya pribadi memperhatikan, UK (Inggris) dan negara-negara Barat umumnya tidak terlalu risau dengan Korsel, Jepang, Singapura, dan Hong Kong. Karena hasil penelitian itu sendiri sudah menyatakan bahwa skill yang bernilai tinggi seperti kreativitas dan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving) lebih sulit untuk diukur dan di-ranking-kan. Kalimat lengkapnya, “The report also notes that highly-prized skills such as being creative and problem solving are much harder to measure and put into such rankings.” (BBC, 8 Mei 2014)
Kalau diperhatikan, UK selalu berada di bawah Finland. Menariknya, kedua negara ini memiliki kebijakan berbeda dalam menetapkan usia formal anak masuk sekolah.
Kebijakan Inggris mewajibkan anak usia 4 tahun sudah belajar calistung, bukannya bebas kritik. Professor Lilian Katz misalnya, menyatakan bahwa anak-anak di UK/Inggris belajar membaca terlalu dini. Prof Katz, profesor di bidang pendidikan di the University of Illinois in the USA, menyatakan bahwa, “Model pendidikan British yang memaksakan anak-anak untuk belajar sebelum mereka siap, dapat menimbulkan bahaya.”
Ia menjelaskan, “Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika anak-anak memulai formal teaching of reading di usia sangat dini, mereka mendapatkan hasil tes yang baik pada saat itu. Tetapi jika Anda mengikuti perkembangan mereka hingga usia 11 dan 12, anak-anak ini tidak lebih baik dari anak-anak yang memulai membaca secara informal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa memulai pendidikan formal di usia terlalu dini, menimbulkan kerusakan (damage) lebih besar bagi anak-anak lelaki daripada anak perempuan. Anak lelaki biasanya aktif dan asertif, tetapi dalam pendidikan formal, mereka akan dipaksa untuk pasif, bukan aktif. (Maksudnya pasif adalah kemampuan duduk dengan tenang untuk mendengarkan dan menerima perintah— Fira). Di banyak budaya, anak-anak perempuan bisa diajarkan untuk pasif lebih awal, tetapi tidak dengan anak laki-laki,” (BBC, 22 November 2007)
Dr. Bethan Marshall, senior lecturer di King’s College London juga menyatakan bahwa anak tidak mendapatkan keuntungan tambahan dari membaca terlalu dini (independent, 6 Desember 2007).
Kapan sebaiknya anak mulai belajar secara formal sudah bertahun-tahun diperdebatkan di UK. Belakangan mulai dikampanyekan, bahwa “Too much too soon”. Tahun 2013, David Whitebread, Senior Lecturer in Psychology of Education di University of Cambridge, menyatakan hal yang senada dengan Prof Lilian Katz dan Dr Bethan Marshall.
Ketiga ilmuwan ini menyatakan bahwa mengajarkan membaca (dan menulis dan berhitung) secara formal di dalam kelas seperti konsep UK saat ini, bukan hal yang tepat. Alasannya bermacam-macam. Tapi ya secara umum, karena anak memerlukan banyak waktu untuk tumbuh dan berkembang, karena anak memerlukan lebih banyak bermain di usia dini bukan belajar formal, dan bahwa mengajarkan calistung di usia dini berpotensi menimbulkan ‘kerusakan (damage) lebih besar di kemudian hari. Salah satu bahaya memaksakan calistung di usia dini adalah di kemudian hari bisa membuat anak ‘menjauh’ dari buku seumur hidupnya
Kalau mau baca, bisa diklik di link yang saya share di bagian bawah ini.
Lantas, bagaimana sikap pemerintah UK sendiri? Pemerintah sendiri kelihatannya masih mengkaji perdebatan ini sehingga masih menerapkan kurikulum lama.
Saya pribadi bisa memaklumi. Ya nggak bisa dong, tiap kebijakan, asal dikritik, trus langsung ganti. Pak Anis Baswedan saja bilang bahwa mengubah kurikulum pendidikan seperti mengubah arah kapal tanker sepanjang 500 meter. ”Untuk membelokkan arah laju kapal tanker itu, tidak bisa langsung. Butuh berjalan 10 km dulu, baru benar-benar terlihat beloknya.”
Terus Indonesia bagaimana?
Menurut saya, Indonesia tidak harus meniru model UK. Model Finland juga baik. Negara yang mewajibkan pendidikan formal sejak usia 5 tahun adalah UK (Inggris) yang memang Year 1-nya umur 5 tahun. Selain UK adalah Scotland, Cyprus, dan Malta.
Negara-negara yang baru memulai pendidikan formal di usia 6 tahun di antaranya Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Norwgia, Italia, Belanda, Spanyol, Swiss, dan Turki.
Yang mengawali pendidikan formal di umur 7 adalah Bulgaria, Finlandia, Swedia (BBC, 12 September 2013).
Jadi, kalau menurut saya yang nggak paham ilmu psikologi dan ilmu pendidikan ini, sebetulnya pemerintah Indonesia tidak melakukan PEMBODOHAN ketika menetapkan larangan mengajarkan calistung secara formal sebelum anak berusia 7 tahun. Landasan ilmiahnya ada.
Tetapi, saya pribadi menilai maksud Bu Dwi Estiningsih itu bagus. Hanya saja saya ingin memperjelas dua (2) hal. Pertama, kelihatannya ada perbedaan maksud antara Bu Dwi Esti dengan pemerintah. Pemerintah melarang calistung secara formal di kelas. Kalau bahasa Inggrisnya sih, yang dilarang itu formal reading-formal writing yang diwajibkan untuk diajarkan di kelas. Sementara pemerintah UK justru mendorong masyarakat untuk MENSTIMULASI anak agar gemar membaca, salah satunya dengan menyediakan perpustakaan gratis berkualitas dengan lokasi terjangkau. Kalau saya membaca twit-twit Bu Dwi Esti, kelihatannya ini yang diinginkan beliau, yakni MENSTIMULASI anak agar mengenal huruf dan angka sebelum usia 7 tahun. Coba baca posting-posting beliau setelahnya.
Misalnya posting beliau berikut ini:
Ponakan 2 th & adik saya:
P: Raup ping piro yah? (Basuh muka berapa kali *wudlu)
A: Ping telu le. (Tiga kali nak)
P: Allah ping piro yah? (Allah *maksudnya sholat* berapa kali?)
A: Ping limo sedino. (Lima kali sehari)
P: Raup ping piro yah? (Basuh muka berapa kali *wudlu)
A: Ping telu le. (Tiga kali nak)
P: Allah ping piro yah? (Allah *maksudnya sholat* berapa kali?)
A: Ping limo sedino. (Lima kali sehari)
2 bersaudara. (usia 4 & 2 thn).
A: Kelerengku 20 dek.
B: Kelerengku 2 mas.
Ayahnya: Bagi yg rata, masing-masing 11 biji.
A: Kelerengku 20 dek.
B: Kelerengku 2 mas.
Ayahnya: Bagi yg rata, masing-masing 11 biji.
Dulu kecil banyak yg suka DAKON. Tiap lobang 36 biji. Yg dapat terbanyak menang.
Eh, BERHITUNG lagi..
Eh, BERHITUNG lagi..
Krempyeng, kelereng, petak umpet, halma, kasti, etc.
Semua BERHITUNG. Betul?
Semua BERHITUNG. Betul?
Nah, semua yang dicontohkan Bu Dwi Estiningsih, kalau di UK/Inggris, namanya pendidikan informal. Dan sejauh yang saya tahu, pemerintah Indonesia tidak mempermasalahkan hal ini. Berbeda dengan jika yang dimaksud adalah menjadikan calistung dalam bentuk pelajaran formal seperti yang diterima Fahdiy dan Dinara. Kelihatannya, Pemerintah Indonesia memang tidak mengadopsi sistem pendidikan ala UK. Dan pilihan pemerintah belum tentu salah, karena Finlandia dan Swedia, misalnya, memilih mengajarkan calistung secara formal setelah anak berusia 7 tahun.
Yang kedua, saya melihat, pilihan mana pun yang diambil, model UK yang memulai pendidikan wajib (compulsory school) sejak usia 5 tahun, atau ikut Finland yang baru wajibnya di umur 7, sebaiknya diikuti dengan melibatkan sistemnya. Misalnya, di UK di mana umur 4-5 tahun anak sudah lancar membaca dan bisa menulis, maka, sebaiknya hal-hal ini juga diusahakan:
1. Penyediaan library gratis berkualitas yang mudah diakses masyarakat
2. Penyediaan children’s centre gratis berkualitas yang mudah diakses masyarakat
3. Penyediaan PAUD dan sekolah berkualitas di banyak tempat sehingga tidak perlu berebut untuk bisa sekolah di sekolah yang baik. Ini sekaligus menghapuskan berbagai macam tes dan psikotes demi masuk SD favorit.
4. Rasio guru dan siswa yang masuk akal. Di kelasnya Fahdiy dan Dinara, dalam satu kelas jumlah siswa maksimum 30, dengan jumlah guru minimal 3 orang. Kalau ada anak yang berkebutuhan khusus, disleksis, speech delay, autis, maka pemerintah memberikan guru khusus untuk mendampinginya selama di kelas. Jadi anak tidak perlu dipisahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
5. Dan seterusnya.
2. Penyediaan children’s centre gratis berkualitas yang mudah diakses masyarakat
3. Penyediaan PAUD dan sekolah berkualitas di banyak tempat sehingga tidak perlu berebut untuk bisa sekolah di sekolah yang baik. Ini sekaligus menghapuskan berbagai macam tes dan psikotes demi masuk SD favorit.
4. Rasio guru dan siswa yang masuk akal. Di kelasnya Fahdiy dan Dinara, dalam satu kelas jumlah siswa maksimum 30, dengan jumlah guru minimal 3 orang. Kalau ada anak yang berkebutuhan khusus, disleksis, speech delay, autis, maka pemerintah memberikan guru khusus untuk mendampinginya selama di kelas. Jadi anak tidak perlu dipisahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
5. Dan seterusnya.
Bagaimana kalau ikut Finlandia? Ya diikuti saja semuanya sampai ke sistemnya.
Jadi *secara teori* saya tidak melihat ada yang salah dengan melarang formal reading and writing sebelum umur 7. Menstimulasi anak lewat bermain yang sifatnya tidak formal, seperti penjelasan Bu Dwi Estiningsih pun, juga tidak keliru. Yang barangkali perlu didorong adalah, penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung agar terwujud sistem pendidikan minimal seperti UK atau Finland.
Saya pribadi optimis Indonesia bisa. Perpustakaan gratis berkualitas misalnya, di Jakarta sudah ada Perpustakaan Provinsi DKI Jakarta di TIM, Cikini. Memang masih kurang sangat banyak. Tetapi awal yang baik ini harus diapresiasi, khan? InsyaAllah Indonesia bisa menjadi lebih baik di masa mendatang.
Colchester, Essex, 3 Juni 2015
Sumber tulisan:
Formal school lessons should start ‘above age of five’, http://www.bbc.co.uk/news/education-24058227
UK children ‘reading too early’, http://news.bbc.co.uk/1/hi/education/7107798.stm
School starting age: the evidence, http://www.cam.ac.uk/research/discussion/school-starting-age-the-evidence
Bethan Marshall: Children are not helped by reading too early, http://www.independent.co.uk/news/education/schools/bethan-marshall-children-are-not-helped-by-reading-too-early-763182.html
Posting Komentar